WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Penulis
: Merry Tjoanda
Kata Kunci : compensation
(kompensasi)
Sumber
:
ABSTRAK
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih, yang menimbulkan hak dan istilah obligasi.debitur atau hutang tidak memenuhi kewajibannya karena ada unsurnya,
maka pemberi pinjaman memiliki hak untuk menuntut restitusi, ini adalah apa
yang melatarbelakangi penulisan ini bagaimana masalah dengan bentuk kompensasi menurut
buku hukum perdata? hasil yang diperoleh
bahwa kompensasi sebagai akibat dari standar yang ditetapkan dalam kitab perbuatan
hukum perdata, juga berlaku untuk kompensasi sebagai hasilnya dari bertindak. melanggar hukum memberikan berupa kerugian material dan imateriil,kemudian bentuk kompensasi dapat berupa natura (uang) atau innatura.
PENDAHULUAN
Perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain,dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pihak
yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur
atau si berpiutang,sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan
dinamakan debitur atau si berutang.Tuntutan atau kewajiban tersebut lazimnya
disebut sebagai prestasi.Pasal 1234 KUHP perdata :
“Tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,untuk berbuat sesuatu,atau untuk
tidak berbuat sesuatu.”
Menurut Pasal 1234 KUHP perdata prestasi itu
dibedakan atas :
1.
Memberikan sesuatu
2.
Berbuat sesuatu
3.
Tidak berbuat sesuatu
Dalam hal debitur atau si berutang tidak
memenuhikewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan
tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsure salah padanya,maka ada
akibat-akibat hukum yang bisa menimpa dirinya,yaitu :
·
Pertama-tama,sebagai yang disebutkan
dalam pasal 1236 KUHP perdata :
“si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya,rugi dan
bunga kepada si berpiutang,apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak
mampu untuk menyerahkan kebendaannya,atau telah tidak merawat sepatutnya guna
menyelamatkannya”
Dan
1243 KUHP perdata :
“Penggantian
biaya,rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan,barulah mulai
diwajibkan,apabila si berutang,setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya,tetap melalaikannya,atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuat dalam tenggng waktu yang telah dilampaukannya”
Kreditur berhak untuk menuntut
penggantian kerugian,yang berupa ongkos-ongkos kerugian dan bunga.Akibat hukum
seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu,untuk
melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu.
·
Kedua,Pasal
1237 KUHP perdata mengatakan :
“dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan
tertentu,kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan,adalah atas tanggungan si
berpiutang”
·
Yang
Ketiga adalah bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik,maka
berdasarkan pasal KUHP perdata :
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan
yang bertimbal balik.manakala salah satu pihak tidak memeuhi kewajibannya”
Maka kreditur berhak untuk menuntut
pembatalan perjanjian,dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti
rugi.Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap
menuntut pemenuhan.Apabila salah satu pihak dalam perikatan merasa dirugikan
tersebut untuk melakukan gugatan ganti rugi.Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis untuk melakukan penulisan dengan pemasalahan bagaimana wujud ganti rugi
menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
PEMBAHASAN
1.Pengertian Kerugian
Pengertian
kerugian menurut R.Setiawan adalah kerugian nyata yang terjadi karena
wanprestasi.Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan membandingkan keadaan
kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi
wanprestasi.
Pengertian kerugian yang hampir sama
dikemukakan pula oleh Yahya Harahap,ganti rugi ialah “Kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel”
yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi .Kerugian nyata ini ditentukan oleh
suatu pebandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.Lebih lanjut
dibahas oleh Harahap,kalau begitu dapat kita ambil suatu rumusan,besarnya
jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang ‘wajar’ sesuai dengan besarnya
nilai prestasi yang menjadi obyek perjanjian disbanding dengan keadaan yang menyebabkan
timbulnya wanprestasi.Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah “sebesar
kerugian nyata” yang diderita kreditur yang
menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keuntungan yang akan diperolehnya.Lebih
lanjut dikatakan oleh Abdulkadir
Muhammad,bahwa pasal 1243 KUHP Perdata sampai dengan pasal 1248 KUHP
Perdata merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan
undang-undang terhadap debitur dari perbuatan
sewenang-wenang pihka kreditur sebagai akibat wanprestasi.
Pengertian kerugian yang lebih luas
dikemukakan oleh MR.J.H.Nieuwenhuis sebagaimana
yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih,pengertian
kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar
norma oleh pihak yang lain.Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh
Nieuwenhiuis disini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.Bila
kita tinjau secara mendalam,kerugian adalah suatu pengertian yang relative,yang
bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan.Kerugian adalah selisih
(yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran
norma,dan situasi yang seyogyanya akan timbul pelanggaran norma tersebut tidak
terjadi.
Sehingga
dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta
kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui
perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak
lain.
2.Unsur-Unsur Ganti
Rugi
Dalam pasal 1246 KUHP Perdata menyebutkan :
“biaya,rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan
penggantinya,terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan
untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya,dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian
serta perubahan-perubahan yang akan disebut dibawah ini.
Menurut Abdulkadir Muhammad,dari pasal 1246 KUHP Perdata tersebut,dapat
ditarik unsure-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :
a. Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang
telah dikelarkan (cost),misalnya ongkos cetak,biaya materai,biaya iklan.
b. Kerugian karena kerusakan,kehilangan
barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages).Kerugian disini
adalah yang sungguh-sungguh diderita,msalnya busuknya buah-buahan karena
keterlambatan penyerahan,ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi
sehingga merusakan perabot rumah tangga,lenyapnya barang karena terbakar.
c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan
(interest).Karena debitur lalai,kreditur kehilangan keuntungan yang
diharapkannya.MIsalnya A akan menerima beras sekian ton dengan harga pembelian
Rp250,00 per kg.Sebelum beras diterima,kemudian A menawarkan lagi kepada C
dengan harga Rp275,00 per kg.Setelah perjanjian dibuat,ternyata beras yang
diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya.Disini
keuntungan yang diharapkan Rp25,00 per kg.
Kadang-kadang kerugiannya hanya
merupakan kerugian yang diderita saja,tetapi kadang-kadang meliputi kedua-dua unsure
tersebut.Satrio melihat bahwa unsure-unsur
ganti rugi adalah:
1.
Sebagai
pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya untuk mudahnya dapat kita
sebut “prestasi pokok” perikatannya,yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan
yang bersangkutan atau
2.
Sebagian
dari kewajiban perikatan pokoknya,seperti kalau ada prestasi yang tidak
sebagaimana mestinya,tetapi kreditur mau menerimanya dengan disertai
penggantian kerufian,sudah tentu dengan didahului protes atau disertai ganti
rugi atas dasar cacat tersembunyi.
3.
Sebagai
pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur oleh karena keterlambatan
prestasi dari kreditur,jadi suatu ganti rugi yang dituntut oleh kreditur
disamping kewajiban perikatannya
4.
Kedua-duanya
sekaligus jadi dituntut baik penggani kewajiban prestasi pokok perikatannya
maupun ganti rugi keterlambatannya.
3.Sebab-sebab Kerugian
Dari pengertian kerugian pada sebab sebelumnya dapat kita lihat bahwa
kerugian adalah suatu pengertian kausal,yakni berkurangnya harta kekaaan
(perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan),dan diasumsikan adanya suatu
peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut.Syarat untuk menggeserkan
kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa kerugian
tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak lain tersebut.
Kreditur mempunyai kewajiban untuk berusaha membayar kerugian
yang timbul sampai batas-batas yang patut.Kalaukreditur tidak berusaha
membatasi kerugian itu maka akibat dari kelalaiannya tidak dapat dibebankan
kepada debitur.Ketentuan ini juga dengan prisip dapat digugat dan hubungan adequate.
a.Hubungan Sine Qua Non
(Von Buri)
Syarat pertama untuk membebankan kerugian pada orang lain adalah bahwa
telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggap sebagai condicio sine qua non kerugian
tersebut.Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa
yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat tersebut merupakan suatu
kesatuan.
Nieuwenhuis memberikan contoh menarik untuk ini :
^Menyewakan sejumlah kamar kepada beberapa orang,termasuk A
dan B.Kamar-kamar tersebut terletak diatas ruang konfeksi milik C. Menurut
kontrak sewa,para penyewa dilarang menggunakan alat masak listrik.Dalam urutan
kronologis terjadi yang berikut ini:
a.
A
menghubungkan alat listrik pemasak air dengan jaringan listrik.
b.
B
menggunakan alat listrik pemanas air dalam kamar mandi,yang menyerap tenaga
listrik yang sama.
c.
Aliran
listrik terhenti dan mesin-mesin jahit listrik di ruang konfeksi C terhenti.
Apa yang menjadi penyebab berhentinya mesin-mesin jahit
listrik tersebut? Mesin-mesin itu tidak akan menggunakan alat listrik pemanas
air,Jadi tingkah laku A berpengaruh terhadap berhentinya mesin-mesin jahit
tersebut.Peristiwa A merupakan syarat untuk timbulnya peristiwa A
merupakan syarat untuk timbulnya
peristiwa C dalam artinya bahwa tanpa A tidak akan terjadi (Condicio sine qua non).
b.Hubungan Adequat (Von
Kries)
Kerugian
adalah akibat adequate pelanggaran norma apabila pelanggaran norma demikian
meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya kerugian demikian.Inilah inti ajaran
penyebab yang adequate.
Teori ini
berpendapat bahwa suatu syarat merupakan sebab,jika menurut sifatnya pada
umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat.selanjutnya Hoge Raad memberikan
perumusan,bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pngalaman dapat
diharapkan/diduga akan terjadinya akibat yang bersangkuyan.Ajaran ini mencampur
adukkan antara causalitet dan pertanggungjawaban.Hoge Raad menganut ajaran
adequate.Hal ini ternyata dari arrest nya tanggal 18 November 1927,dimana
dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan akibat yang langsung dan seketika adalah
akibat yang menurut aturan-aturan pengalaman dapat diharapkan terjadi.
4.Wujud Ganti Rugi
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang
tertentu. Hoge Raad malahan berpendapat, bahwa penggantian “ongkos,
kerugian, dan bunga” harus dituangkan dalam sejumlah uang tertentu. Namun
jangan menjadi rancu; kreditur bisa saja menerima penggantian in natura dan
membebaskan debitur. Yang tidak dapat adalah bahwa debitur menuntut kreditur
agar menerima ganti rugi dalam wujud lain daripada sejumlah uang.
Pendapat seperti itu dengan tegas dikemukakan, ketika Hoge Raad
menghadapi masalah tuntutan ganti rugi dari seorang yang minta kepada toko
perhiasan, agar perhiasan yang ia beli daripadanya diperbaiki, tetapi perbaikan
itu ternyata malah menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih parah lagi. Hof memutuskan
bahwa pemilik toko perhiasan harus mengganti kerugian, dengan cara
mengembalikan harga yang dulu dibayar oleh pembeli dan pembeli mengembalikan
perhiasannya. Cara perhitungan ganti rugi seperti ini tidak dibenarkan oleh Hoge
Raad. Ganti rugi harus diwujudkan dalam sejumlah uang.
Pitlo berpendapat bahwa undang-undang kita tidak memberikan dasar yang
cukup kuat untuk kita katakan, bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat
dikemukakan dalam sejumlah uang tertentu.12 Alasan pokoknya sebenarnya adalah
bahwa berpegang pada prinsip seperti itu banyak kesulitan-kesulitan dapat
dihindarkan. Anehnya, kalau ganti rugi itu berkaitan dengan onrechtmatige
daad, maka syarat “dalam wujud sejumlah uang” tidak berlaku, karena Hoge
Raad dalam kasus seperti itu membenarkan tuntutan ganti rugi dalam wujud
lain.
Walaupun
demikian hal itu tidak berarti, bahwa untuk setiap tuntutan ganti rugi kreditur
harus membuktikan adanya kepentingan yang mempunyai nilai uang. Hal itu akan
tampak sekali pada perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, dimana
pelanggarannya biasanya menimbulkan kerugian yang sebenarnya tidak dapat
dinilai dengan uang.
Sering pula muncul pada tuntutan ganti rugi atas dasar onrechtmatige
daad. Namun adanya ganti rugi atas kepentingan yang tidak dapat dinilai
dengna uang, secara tegas-tegas diakui, seperti pada pasal 1601w KUHPerdata
yang menyatakan bahwa :
“ Jika salah satu pihak dengan sengaja atau karena salahnya telah
berbuat melawan dengan salah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanya
diderita oleh pihak lawan tidak dapat dinilaikan dengan uang, maka Hakim akan
menetapkan suatu jumlah uang menurut keadilan, sebagai ganti rugi”.
Jadi
yang dimaksud bukannya sifat dari kepentingan yang dirugikan, tetapi apakah
yang dirugikan bisa dipulihkan dengan pembayaran ganti rugi sejumlah uang.
Kalau bisa maka hal itu berarti, bahwa kerugian itu bisa dinilai dengan uang.
Untungnya pengadilan dalam hal ini tidak mengambil sikap yang kaku; rasa sakit
bisa dihilangkan atau dikurangi dengan pemberian obat (yang dibayar dengan
sejumlah uang), kebutaan dibantu dengan seorang penuntun (yang harus dibayar
secara berkala), kenikmatan estetika bisa diganti dengan kenikmatan
sejenis yang lain (yang harus dibeli atau dibayar dengan sejumlah uang).
Konsekuensinya, Hakim tidak berhak menetapkan ganti rugi sejumlah uang tertentu
atas kerugian, kalau bagaimanapun dengan uang itu (kerugian) tidak akan dapat
dikurangi atau diperbaiki, kecuali sudah tentu kalau undang-undang sendiri
membolehkan hal seperti itu.
5. Bentuk-Bentuk Kerugian
Bentuk-bentuk kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni :
a. Kerugian materiil
b. Kerugian immateriil
Undang-undang hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat
materiil. Kemungkinan terjadi bahwa kerugian itu menimbulkan kerugian yang
immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang,
tidak ekonomis, yaitu berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, dan
sebagainya.
Sulit rasanya menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan
konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian
penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian sekian
karat. Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan
penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian penderitaan
batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat dan besarnya kerugian
non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun dapat dituntut. Penggantiannya
dialihkan kepada suatu perhitungan yang berupa “pemulihan”. Biaya pemulihan
inilah yang diperhitungkan sebagai ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh hakim.
Seperti dalam contoh di atas, tentu tidak dapat diganti
kegoncangan jiwa yang diderita oleh si pembeli tersebut. Tetapi debitur dapat
“dibebankan” sejumlah biaya pengobatan rehabilitasi. Misalnya ongkos dokter dan
biaya sanatorium. Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali. Atau kalau
kita ambil kecelakaan yang semakin merajalela di jalan raya. Karena kesalahan
dan kecerobohan , A menabrak B sehingga kakinya harus diamputasi. Tak mungkin
debitur mesti mengganti kaki yang dipotong itu. Bagaimana mengherstel kaki
yang sudah dipotong. Yang rasional ialah sejumlah ganti rugi kebendaan berupa
uang. Ini sesuai pula dengan ketentuan pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan :
cacat atau puntung pada bagian badan / tubuh yang dilakukan dengan “sengaja”
atau oleh karena “kurang hati-hati”, memberi hak kepada orang itu menuntut
“bayaran” di luar biaya pengobatan. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan si
korban dapat menuntut ganti rugi “kebendaan” atau kerugian yang non-ekonomis,
yang terdiri dari :
- sejumlah biaya pengobatan ;
- dan sejumlah uang bayaran sesuai dengan keadaan cacat yang
diderita.
Mengenai ukuran uang bayaran cacat di luar pengobatan tadi,
dinilai atas dasar “kedudukan dan kemampuan” kedua belah pihak, sambil
memperhatikan hal ihwal kejadian itu sendiri.
Akan tetapi tidak setiap kerugian ekonomis mesti diganti dengan
suatu yang bersifat kebendaan yang bernilai uang. Malah kadang-kadang lebih
tepat diganti dengan hal-hal yang bersifat non-ekonomis pula. Umpamanya “hak
perseorangan” (persoonlijkerechten) : integritas pribadi, kebebasan pribadi,
memulihkan nama baik dan sebagainya. Dalam hal ini pemulihan atau rehabilitasi
hak asasi perseorangan tadi, jauh lebih efektif dari pada penilaian ganti rugi
uang.
Namun
di luar hal-hal yang tersebut tadi biasanya ganti rugi non-ekonomis lebih sempurna
bila diganti dengan sejumlah uang sebagai alat rehabilitasinya. Asal
benar-benar jumlah ganti rugi tadi “efektif” banyaknya sesuai dengan
perhitungan yang memungkinkan tercapainya hasil pemulihan yang mendekati
keadaan semula. Misalnya pengobatan sanatorium disamping biaya pemulihan dan
kehidupan selanjutnya, haruslah benar-benar efektif nilainya (effectieve waarde).
KESIMPULAN
Nama Kelompok :
- Ajeng Ayu SeptyaNingrum {20210451}
- Faidah Nailufah {29210382}
- Nia Fandani {24210954}
- Yuli Kahono Susanti {28210742
Tidak ada komentar:
Posting Komentar